PECAHNYA KERAJAAN LAGUNDI NAN BASELO ( PARIANGAN )
setelah berdirinya kerajaan MELAYU JAMBI pada abad ke 2 masehi didirikan oleh RAJA AUR KUNING yang sebelumnya mendirikan kerajaan KOTO ALANG, maka kerajaan itupun menjadi berkembang pesat, tidak demikian di PASUMAYAM KOTO BATU.
Pada abad 1 Masehi, di sekitar lereng Gunung Merapi.[1] Sri Maharajo Dirajo dengan permaisurinya Puti Indo Jolito dan anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan gelar Datuk Ketumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh Datuk Suri Dirajo, sedangkan istrinya kembali menikah dengan Cati Bilang Pandai (penasehat ahli Sri Maharajo Dirajo) dan melahirkan tiga orang anak: Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam, dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sebatang
hampir se abad perjalanan waktu setelah KERAJAAN LAGUNDI NAN BASELO berdiri, koto - koto dan nagari nagari mulai di bentuk, di atur dengan aturan dan hukum yang tegas. menjadikan kerajaan aman dan tentram,
se iring air laut yang mulai menyusut dan timbulnya daratan daratan baru yang berupa pulau - pulau kecil berbukit bukit, maka makin berkembanglah masyarakat dan penduduk yang mendiami kawasan kawasan baru tersebut. sehingga pada abad ke 2 masehi setelah kepulangan TUMENGGUNG DAN PERPATIH, telah banyak yang berubah pada kampong halaman mereka.
kehadiran mereka di elu elukan oleh seluruh rakyat, dimana mereka adalah penerus kerajaan yang ada.
Dewan pertimbangan Kerajaan Pasumayan Koto Batu dipimpin oleh Sri Dirajo (Datuk Suri Dirajo). Hukum yang diterapkan di tengah masyarakat disebut sebagai Undang-undang Simumbang Jatuh yang terdiri atas dua bagian yaitu Si Gamak-gamak (atau Tariak Baleh) dan Si Lamo-lamo. Penerapan hukum tersebut diserahkan sepenuhnya kepada penguasa, dimana penguasa dalam menjatuhkan hukumannya hanya berdasarkan perasaan atau berdasarkan keyakinannya sendiri.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Saruang. Di Balai Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan. Kemudian didirikan juga Balai Nan Panjang, Balai Pasujian, dan Balai Kaciak.[2] Balai Saruang hanya terdiri dari satu ruang, sedangkan Balai Nan Panjang terdiri dari 17 ruang.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Ketumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang. Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa, namun kemudian disempurnakan oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Keduanya lalu dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang yang aristokratis dan adat Bodi Caniago yang demokratis.
SEBAB PECAHNYA KERAJAAN LAGUNDI NAN BASELO
Setelah Kerajaan Pasumayan Koto Batu berakhir dengan Rajanya Sri Maharajo Dirajo yang kemudian digantikan oleh Datuk Suri Dirajo. Maka selanjutnya muncul 2 orang pemimpin yang bernama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Sebagaimana dikatakan sebelumnya kedua orang tokoh ini seibu berlainan bapak.
Datuk Katumanggungan mendirikan Kerajaan Bungo Satangkai di Sungai Tarab dan sebagai yang dipertuan adalah Datuk Banadaro Putiah.
Sedangkan datuk Perpatih Nan Sabatang meninggalkan Nagari Pariangan Padang Panjang dan mendirikan Nagari Limo Kaum XII Koto dan IX Koto di Dalam. Didaerah ini yang berdaulat Datuk Perpatih Nan Sabatang sedangkan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Datuk Bandaro Kuning.
Yang termasuk Kerajaan Dusun Tuo adalah daerah yang termasuk Lareh Bodi Chaniago adalah Tanjung Nan Tigo dan Lubuak Nan Tigo.
Sedangkan Kerjaan Bungo Satangkai meliputi Langgam Nan Tujuh.
Semasa Kerajaan Dusun Tuo dan Bungo Satangkai diadakan perubahan Undang-Undang Simumbang Jatuah dirubah dengan undang-undang Si Lamo-lamo intinya adalah bahwa sesuatu keputusan yang akan diambil diperhitungkan terlebih dahulu masak-masak, melarat dan memanfaatkannya. Hukuman yang telah dijatuhkan belum dapat dilaksanakan tetapi harus diberi tenggang waktu lebih dahulu agar hukuman itu benar-benar menghukum orang yang bersalah.
Yang melaksanakan Undang-undang Si Lamo-lamo adalah Kerajaan Dusun Tuo di bawah pimpinan Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan Kerajaan Bungo Setangkai di Bawah pimpinann DatukKatumanggungan tetap bertahan dengan undang-undang Simumbang Jatuah. Akhirnya kedua tokoh ini terjadi perselisihan. Perselisihan ini akhirnya diadakan perdamaian dan ikrar bersama ditandai dengan Batu Batikam. Isi perdamaian bahwa Undang-undang Silamo-lamo berlaku bagi seluruh Minangkabau dan Adat Bodi Chaniago dan Koto Piliang sama-sama berlaku bagi seluruh rakyat Minangkabau.
Selanjutnya terjadi pula perubahan yaitu Undang-undang si Lamo-lamo diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Sebagai contoh Undang-undang Tariak Baleh ini adalah:
Salah tariak mangumbalikan
Salah cotok malantiangkan
Salah makan mamuntahkan
Artinya kesalahan yang diperbuat seseorang dapat diuperbaikinya kembali sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya. Akhirnya undang-undang Tariak Baleh ini terjadi lagi perubahan yaitu Undang-Undang Duo Puluah yang diberlakukan di seluruh Minangkabau baik di Lareh Koto Piliang maupun Lareh Bodi Caniago yang mana sampai sekarang masih berfungsi sebagai hukum adat di nagari-nagari pada saat sekarang.
Yang dapat kita ambil kesimpulan adalah bahwa semasa Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang betul-betul telah mereka susun adat Minangkabau yang nenjadi pegangan bagi orang Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang. Tidak mengherankan kalau nama Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang tidak dapat dilupakan oleh orang Minangkabau sepanjang masa.
EPISODE selanjutnya adalah KERAJAAN DANG TUANKU DAN IMBANG JAYO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar