Copas dr sblh : Guru Besar Ilmu Gizi Unand Ungkap Rahasia Sehat Masakan Minang
RANAHBERITA– Masakan tradisional masyarakat Minangkabau selama ini dinilai tidak sehat karena memakai santan dan bumbu yang banyak. Misalnya pada makanan seperti gulai, rendang dan masakan yang mengandung santan lainnya. Diduga menyebabkan sakit jantung, tekanan darah tinggi dan stroke.
Hal itu dibantah oleh penelitian Prof. dr. Nur Indrawaty Lipoeto, MMedSci, Phd, SpGK, yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Rabu (20/11/2013).
Dia mengatakan, kalau orang Minang berhenti memakan santan dan malah beralih memakan makanan yang digoreng bisa berakibat fatal. Alasannya, melihat kecenderungan masyarakat saat memasak, semakin banyak santan, maka akan semakin banyak bumbu.
“Bumbu dalam masakan Minang yang memakai santan adalah rahasia sehat dari makanan orang Minang,” kata Indrawaty dalam wawancara dengan ranahberita.com, Senin (26/11/2013).
Bumbu yang dimaksud adalah kunyit, jahe, lengkuas, serai, daun salam, cabe, bawang merah dan putih serta daun-daun lainnya. Bumbu ini dikatakan sehat karena mengandung antioksidan. Antioksidan berfungsi sebagai zat yang menetralisir lemak jenuh pada santan dan hewan.
“Hal yang ditakutkan dari masakan Minang itu kan lemak daging yang bercampur dengan lemak kelapa. Kedua lemak itu merupakan lemak jenuh yang jahat. Namun, ketika diramu oleh orang Minang dengan bumbu khasnya, lemak itu bisa dinetralisir dengan zat antioksidan yang terdapat di dalam bumbu itu,” ujar jebolan Monash University, Australia ini.
Makanan tradisional Minang yang dianggap sehat itu adalah masakan yang memakai santan dan mengandung bumbu yang disebutkan di atas. Di antara bumbu tersebut, menurut Indrawaty, yang paling tinggi kandungan antioksidannya adalah jahe, kunyit, dan cabe.
“Samba lado hijau itu sebenarnya juga baik. Tapi, tak mungkin orang makan cabe itu dalam jumlah banyak, paling sedikit saja. Tapi kalau digulai, kecenderungan orang kalau makan gulai akan menyantap kuahnya lebih banyak. Sehingga bisa menyerap zat antioksidan cabe lebih besar juga,” ujarnya.
Makanan yang berbahaya bagi kesehatan itu, tambah Indrawaty adalah gorengan. Jika masyarakat Minang mengganti santan dengan minyak goreng, tentu orang akan semakin minim memakan bumbu-bumbu di atas. Sehingga, lemak yang terdapat pada minyak goreng itu diserap tanpa ada yang menetralisir.
Sebenarnya, kata Indrawaty, lemak yang terkandung dalam santan jauh lebih sedikit dari minyak goreng. Dibandingkan santan dan minyak goreng dalam jumlah yang sama, misalnya masing-masing dalam satu gelas, maka lemak pada santan hanya 30 persen. Sedangkan lemak minyak goreng itu 100 persen kandungannya.
“Jadi selama ini kita melihat, kebanyak orang Minang tidak percaya diri ketika bicara soal makanan. Karena menganggap makanan khas Minangkabau tidak sehat. Padahal tidak masalah. Itulah hebatnya nenek moyang kita yang telah memikirkannya di zaman yang serba terbatas. Kalau memang tidak sehat, buktinya sampai sekarang kita baik-baik saja,” ujar dosen yang juga pernah menuntut ilmu di Sheffield University, Inggris ini.
Menurutnya, kecemasan masyarakat akan masakan Minangkabau muncul sejak tahun 1950an. Peneliti dari Amerika mendapatkan hasil bahwa penderita sakit jantung karena lemak jenuh. Lemak jenuh yang dimaksud adalah lemak jenuh hewani. “Penelitian mereka terhadap orang yang mengonsumsi lemak jenuh hewani. Orang Amerika tidak ada makan kelapa. Sementara, kadar lemak jenuh kelapa dan hewan itu berbeda,”
Indrawaty meminta, agar masyarakat tetap mengonsumsi masakan tradisional yang mengandung dengan bumbu-bumbu khas. Alasannya, selain aman untuk kesehatan juga merupakan kekayaan budaya.
“Asalkan makannya jangan berlebihan. Apapun makanannya, kalau berlebihan tidak baik bagi kesehatan,” tambah Indrawaty. (Arjuna/Ed1)